Sepekan – Pemilihan langsung yang merupakan buah dari Reformasi, ternyata tidak mampu menghadirkan substansi demokrasi. Semakin ke sini, politik uang kian merajalela. Bahkan, pemilu terakhir dianggap paling brutal dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Dari proses pemilihan calon legislatif (caleg), calon kepala daerah (cakada), hingga calon pemimpin negara, semua seolah tidak dapat lepas dari cengkeraman politik uang, intimidasi, serta praktik pembelian suara.
Pengamat politik Assoc. Prof. Dr. Khamim Zarkasih Putro, M.Si., pun merasakan hal itu. “Dalam kondisi yang seperti ini, Indonesia membutuhkan fatsun politik atau politik yang bermoral,” katanya saat dihubungi KBA News, Jumat, 11 Oktober 2024.
Dia menegaskan Fatsul Politik menjadi harapan besar bangsa ini, sebuah nilai yang dulu sudah dicontohkan oleh para pendiri republik. “Sayangnya, reformasi yang diharapkan mampu mengembalikan semangat proklamasi dalam pengelolaan negara justru bergerak ke arah yang berlawanan,” ujarnya.
Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan, di sisi lain, gaya hidup hedonis di kalangan masyarakat telah mengubah kontestasi politik, seperti pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, hingga kepala daerah.
Dia mengibaratkan proses politik atau pemilihan, baik ekseskutif maupun legislatif, sudah menjadi ajang pamer kekuasaan dan politik uang. “Jelas ini sangat mencederai demokrasi di Indonesia. Maka, tugas kita semua adalah mengembalikan roda politik nasional ke jalur yang benar,” tegasnya.
Menurut dia, sebenarnya kondisi tersebut sudah dibaca oleh banyak pengamat. Tak heran muncul wacana agar pemilihan eksekutif dikembalikan pada konstitusi asli, yakni dengan menerapkan sila keempat Pancasila. Dalam sila keempat pada prinsipnya pemilihan dilakukan dengan perwakilan dan musyawarah mufakat.
Namun, ia juga menyadari bahwa sekadar kembali pada demokrasi perwakilan tidak serta-merta menjamin kondisi akan lebih baik. “Ada persyaratan tertentu yang harus diciptakan, seperti keterwakilan yang benar-benar mewakili rakyat,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti bagaimana kebijakan besar, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN), sering kali dibingkai sebagai aspirasi rakyat, meskipun dukungan yang diklaim bisa menyesatkan. “Misalya, Presiden Jokowi, mengatakan bahwa 93% rakyat mendukung IKN karena disetujui oleh DPR,” katanya.
Khamim mengatakan, pada proses pemilihan ini, hal yang penting adalah pilar demokrasi harus ditata ulang agar tidak saling mengintervensi dan masing-masing memiliki kekuatan yang seimbang. Relasi antara negara, masyarakat, dan pemilik modal perlu diatur ulang agar tidak merugikan kepentingan bangsa Indonesia.
“Dengan demikian, demokrasi yang sejati, bukan sekadar ilusi yang digerakkan oleh kekuatan uang, dapat kembali hidup di negeri ini,” tegasnya.