Sepekan – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membutuhkan waktu panjang untuk memulihkan kembali berbagai sektor perekonomian yang jauh menurun akibat skandal kasus timah yang kasus hukumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung Devi Valeriani mengatakan dampak kasus tersebut membuat melemahnya ekonomi masyarakat karena terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di perusahaan tambang, munculnya pengangguran terbuka tamatan sekolah menengah hingga rendahnya kemampuan masyarakat membayar pajak.
“Di Bangka Belitung tingkat pengangguran terbuka paling banyak tamat SMA dengan 30,55 persen disusul SMK dengan 22,82 persen. Banyaknya pengangguran di tingkat sekolah menengah ini harus jadi perhatian,” ujar Devi dalam Diskusi Panel Tantangan dan Potensi Ekonomi Bangka Belitung 2025 yang digelar di Graha Kantor Pusat PT Timah Tbk. di Pangkalpinang, Selasa, 24 Desember 2024.
Devi menuturkan angka PHK yang terjadi juga cukup tinggi dimana Dinas Tenaga Kerja Bangka Belitung mencatat ada 1329 orang diberhentikan dari pekerjaan. Angka tersebut, kata dia, cukup jauh dimana pada 2023 lalu hanya ada 38 PHK saja di seluruh wilayah Bangka Belitung.
“PHK tersebut disinyalir dari smelter yang mengalami kasus timah. PHK ini membuat pendapatan rumah tangga, konsumsi dan daya beli melemah sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Belum lagi sektor pendidikan dan kesehatan yang semuanya akan memiliki dampak dari PHK itu,” ujar dia.
Menurut Devi, rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan tahun 2024 diprediksi akan di bawah tahun 2023 yang mencapai 19,91 persen.
“Untuk local tax rasio Bangka Belitung hanya 0,69 persen dibawah angka nasional sebesar 2,9 persen. Ini artinya kemampuan masyarakat membayar pajak sangat rendah,” ujar dia.
Kondisi tersebut, kata Devi, diperparah dengan tingkat kemandirian pemerintah daerah yang sangat rendah karena sangat bergantung dengan pemerintah pusat. Sehingga kedepan, kata dia, diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk membantu meningkatkan sektor perekonomian.
“Kinerja keuangan APBN Bangka Belitung mencapai 89,52 persen. Kemudian, dana transfer ke daerah dari pusat 80,7 persen. Ini menandakan bahwa Pemda di Bangka Belitung itu sangat tinggi ketergantungan dengan pemerintah pusat,” ujar dia.
Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fadillah Sabri mengatakan waktu tiga tahun saja diprediksi tidak cukup memulihkan ekonomi Bangka Belitung yang saat ini terpuruk.
“Kita realistis saja bahwa sulit kembali seperti awal. Pertumbuhan ekonomi sekarang dari 0,13 persen mau ke 4 persen itu bagaimana mau meloncatnya,” ujar dia.
Menurut Fadillah Sabri, suka tidak suka Bangka Belitung masih mengandalkan timah karena sektor lain belum mampu menjadi alternatif menopang ekonomi masyarakat.
“Lihat saja ekspor timah. Di 2025 masyarakat masih harus banyak puasa dan ikat pinggang. Dua tiga tahun kedepan memulihkan ekonomi belum bisa. Namun kita tetap optimis karena potensi SDA banyak. Tinggal kesamaan visi pemerintah dan PT timah untuk memberi perhatian lebih besar agar masyarakat terangkat dari permasalahan ekonomi,” ujar dia.
Fadillah Sabri menyebutkan bahwa tata kelola pertambangan sudah sejak awal sudah salah dan harus segera diperbaiki dengan mengambil langkah revolusioner untuk perubahan.
“Korupsi tambang ini dimana-mana. Belum lagi aparat yang seharusnya jadi wasit malah ikut jadi pemain. Penegakan hukum harus betul-betul dilakukan,” ujar dia.
Perencana Ahli Madya Kementerian PPN/BAPPENAS Fidelia Silvana mengatakan pemerintah daerah Bangka Belitung harus mulai melakukan langkah transformasi ekonomi dari industri pengolahan logam.
“Pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung di 2029 ditargetkan 7 persen. Agak berat memang sehingga perlu strategi dan inovasi untuk mencapai target. Untuk mendukung target itu pemerintah pusat perlu melakukan intervensi,” ujar dia.
Di Bangka Belitung, kata Fidelia, kontraksi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa terjadi pada triwulan III dimana hanya mencapai 0,13 persen. Pada 2025, kata dia, industri pengolahan yang ditopang industri logam dasar diprediksi masih belum tumbuh positif.
“Begitu juga dengan sektor pertanian, kontruksi, penggalian dan pertambangan. Harus ada tindakan akselarasi kebijakan ekonomi untuk mencapai target,” ujar dia.
Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk. Nur Adi Kuncoro mengatakan konsumsi timah dunia mencapai 357 ribu ton per tahun. Bangka Belitung, melalui PT Timah dan perusahaan lain, mengekspor timah dengan total sekitar 70 ribu ton.
“Timah Indonesia mempunyai peran penting sekitar 30 persen untuk konsumsi dunia. Berdasarkan data ITA (International Tin Association), konsumsi timah dunia di 2025 mencapai 400 ribu ton sehingga kami berharap ada peningkatan produktivitas untuk menunjang perekonomian di Bangka Belitung,” ujar dia.
Sedangkan untuk konsumsi timah dalam negeri, kata Nur Adi, persentasenya masih kecil hanya mencapai 9 persen saja. 91 persen hasil produksi timah, kata dia, diekspor ke luar negeri.
“Ini menjadi tantangan hilirisasi ke depan. Untuk produk hilirisasi timah, paling banyak untuk tin solder. Diikuti tin chemical dan tin plate. Kami sudah 10 tahun melakukan hilirisasi untuk menambah nilai tambah logam timah. Lokasinya kami bangun memang bukan di Bangka Belitung tapi di Cilegon karena di sana semua infrastruktur yang dibutuhkan untuk hilirisasi sampai dengan pelabuhan sudah siap,” ujar dia.